DAMPAK DAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN MADURA PASCA JEMBATAN SURAMADU Oleh: Idri Shaffat Abstrak: Kehadiran Jumbatan Suramadu di samping mempercepat transportasi dari Surabaya ke Madura atau sebaliknya, juga diharapkan dapat memberikan dampak positif khususnya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat Madura. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan dampak positif adanya Jembatan Suramadu dengan tiga kemungkinan, yaitu: 1 keberadaan Jembatan Suramadu tidak memberikan dampak apa-apa selain terjadinya perubahan alat dan tempat transportasi, 2 dengan keberadaan Jembatan Suramadu, masyarakat Madura mengalami dampak positif berupa perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya, dan 3 keberadaan Jembatan Suramadu secara revolusioner memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan masyarakat Madura, khususnya di bidang ekonomi. Untuk mendapatkan dampak positif tersebut, tulisan ini menyuguhkan beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan agama dan pendidikan, pendekatan sosio kultural, pendekatan ekonomi, dan pendekatan politik dan kekuasaan. Kata Kunci: Jembatan Suramadu, dampak, pendekatan, Madura, pembangunan, dan peningkatan.
Pendahuluan Suramadu telah hadir dan menjadi jembatan penghubung antara Surabaya dan Madura. Banyak pihak berharap kehadiran jembatan ini dapat memberikan dampak positif terutama bagi peningkatan perekonomian masyarakat Madura ke depan.
Dengan kemudahan transportasi yang diakibatkan oleh adanya jembatan ini diharapkan perdagangan barang dan jasa semakin meningkat sehingga masyarakat Madura lebih mudah membeli dan/atau menjual barang di Surabaya dan/atau sebaliknya. Harapan demikian tidaklah berlebihan, karena salah satu maksud dibangunnya Jembatan terpanjang se Indonesia itu antara lain memang demikian. Hanya saja, masyarakat Madura harus menyadari bahwa pembangunan Madura tidak dapat dilakukan secara revolusioner, melainkan secara evolusioner. Dalam arti, pembangunan di pulau ini tidak dapat dilakukan secara serentak dan mendadak karena ketidaksiapan Madura untuk itu baik dari segi infrastruktural maupun suprastruktural. Meskipun demikian, pembangunan Madura pasca Jembatan Suramadu diharapkan semakin meningkat sejalan dengan kemudahan transportasi secara perlahan, bertahap, serta terencana.
Untuk itu, pendekatan evolusioner diterapkan bukan sebagai pilihan utama tetapi lebih disebabkan oleh karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk menerapkannya secara revolusioner. Dengan kata lain, seandainya pembangunan Madura dapat dilaksanakan secara instant dan serentak pasca Suramadu, maka sebaiknya dilakukan dengan cara demikian. Akan tetapi, karena hal ini tidak dapat dilakukakan, maka cara evolutif menjadi solusinya. Dengan realitas yang demikian maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang relevan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara program-program dan rencana-rencana yang dicanangkan dengan pelaksanaan di lapangan. Tulisan ini mencoba untuk memotret dampak dan pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan untuk membangun Madura ke depan setelah adanya jembatan terpanjang se-Asia Tenggara yang menghubungkan antara Jawa khususnya Surabaya dengan Madura. Dampak Jembatan Suramadu bagi Masyarakat Madura Jembatan Suramadu bukan sekedar mimpi yang menjadi kenyataan bagi masyarakat Madura khususnya dan Jawa Timur umumnya. Betapa tidak, jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura ini biayanya cukup besar dan melintang di atas lautan yang cukup luas dengan panjang total 5.438 (17,841 ).
Jembatan dengan lebar 30 (98 ) dan tinggi 146 (479 ) ini merupakan aset negara yang diperuntukkan bagi percepatan pembangunan wilayah Madura yang oleh banyak kalangan dinilai terlambat dibanding wilayah lain khususnya di Jawa Timur. Meskipun lokasinya terletak di wilayah Surabaya-Madura, jembatan ini bukan berarti semata-mata milik orang Jawa Timur.
Jembatan yang mempunyai 8 jalur tersebut merupakan milik negara, yang karenanya, disebut dengan Jembatan Nasional Suramadu. Gagasan kongkrit tentang pembangunan Jembatan Suramadu telah dicanangkan semenjak pemerintahan Presiden BJ. Pada awal perencanaannya, proyek Jembatan Suramadu telah menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan setuju dengan pembangunan pristisius itu dengan harapan akan mengantarkan masyarakat Madura pada kehidupan yang lebih maju. Kalangan lain, yang dimotori oleh sebagian tokoh agama dan tokoh masyarakat, tidak setuju dengan pembangunan jembatan tersebut dengan alasan khawatir akan terjadinya degradasi moral masyarakat Madura yang dikenal sebagai masyarakat santri.
Reorganisasi, c. Penyempurnaan business process, dan d. Faktor kehati-hatian kementerian/lembaga. Selain itu mekanisme pengadaan barang dan jasa, seperti antara lain: d. Dec 31, 2014 - Program CC-2: Increased Local Government Budget (APBD). Received from most all staff, and in keeping with project practice, it is meant to be widely shared. Nota Dinas →Telaah staf. FGD Penyempurnaan.
Tidak tanggung-tanggung, kalangan kedua ini melakukan studi komparasi ke Batam untuk mengetahui dampak industrialisasi di sana. Hasilnya, mereka tetap tidak setuju, meskipun lama kelamaan kelompok ini akhirnya juga menyetujui pembangunan proyek tersebut. Ada pula kelompok masyarakat yang tidak tahu menahu dengan akan dibangunnya Jembatan Suramadu itu. Bagi mereka, ada atau tidak adanya Jembatan Suramadu bukan persoalan, karena tidak akan berdampak apa-apa bagi kehidupan mereka. Kalangan yang disebut terakhir ini adalah penduduk asli Madura yang jarang melakukan bepergian ke luar Madura. Terlepas dari adanya pro dan kontra tersebut, proyek Jembatan Suramadu akhirnya diresmikan pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi percepatan proses pembangunan di pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura.
Dalam proses perjalanannya, pembangunan Suramadu menghadapi banyak hambatan mulai dari keengganan para pemilik tanah dan bangunan untuk membebaskan lahan mereka untuk jalur Suramadu, kehilangan material seperti besi, semen, dan sebagainya ketika pembangunan dilakukan, sampai urusan dana yang tidak cukup sehingga harus pindah pada developer yang lain. Meskipun terdapat hambatan dan kendala, dalam jangka waktu kurang lebih enam tahun, jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura akhirnya selesai juga. Dan, diresmikan pemakaiannya oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Juni 2009. Setelah diresmikan pembukaannya oleh Presiden tersebut, banyak masyarakat yang ‘menikmati’ rasanya menyeberangi jembatan yang diperkirakan menelan biaya sebanyak 4,5 triliun rupiah itu, tidak hanya warga Surabaya-Madura, tetapi anggota masyarakat dari berbagai daerah lain di negeri ini.
Dengan adanya jembatan Suramadu, diharapkan masyarakat Madura tidak hanya dapat lebih cepat datang dari dan pergi ke Surabaya khususnya dan Jawa umumnya, tetapi juga diharapkan terjadi percepatan pembangunan bidang ekonomi di pulau garam ini dengan kemudahan transportasi yang tersedia. Dengan kata lain, kehadiran Jembatan Suramadu diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan masyarakat dan pulau Madura, sehingga dapat dirasakan manfaatnya.
Terkait dengan hal ini, setidaknya ada tiga asumsi. Pertama, keberadaan Jembatan Suramadu tidak memberikan dampak apa-apa selain terjadinya perubahan alat dan tempat transportasi.
Kalau sebelum adanya Jembatan Suramadu, orang-orang yang akan pergi dari Madura ke Surabaya atau sebaliknya naik kapal Ferry dan menyeberangi Selat Madura, setelah adanya jembatan itu mereka naik bis dan melewati jembatan, dengan tiket (ongkos) yang lebih murah dan waktu yang relatif lebih cepat. Tidak ada perkembangan berarti di Madura dengan kehadiran jembatan yang terpanjang di Indonesia tersebut. Kedua, dengan keberadaan Jembatan Suramadu, masyarakat Madura mengalami dampak positif berupa perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya. Transportasi yang relatif murah dan cepat dipergunakan sebaik mungkin oleh warga Madura untuk membeli barang di Surabaya atau sebaliknya menjual barang ke kota besar itu.
Maka, orang-orang Madura menyediakan dan menjual barang-barang yang juga diperjualbelikan di Surabaya atau kota-kota besar yang lain. Dengan demikian, komoditas tidak hanya diperjualbelikan secara lokal, tetapi lintas regional yang berakibat pada pertukaran barang dan jasa yang cukup signifikan dan otomatis berdampak positif bagi kehidupan perekonomian masyarakat yang dikenal religius tersebut. Perubahan yang terjadi relatif pelan tetapi jelas terasa. Diakibatkan oleh terjadinya perubahan perekonomian masyarakat, pola hidup sosial dan budaya secara pelan ataupun cepat juga mengalami perubahan; misalnya dari masyarakat sosial dan saling tolong menolong menjadi masyarakat individual dan lebih mementingkan kebutuhan pribadi, dari pola hidup masyarakat tradisional menjadi pola hidup masyarakat modern, dan sebagainya. Ketiga, keberadaan Jembatan Suramadu secara revolusioner memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan masyarakat Madura, khususnya di bidang ekonomi.
Terjadi perubahan besar-besaran di pulau garam ini, sehingga antara sebelum dan sesudah adanya Jembatan Suramadu, terjadi perbedaan yang sagat tajam. Kalau selama ini, jalan-jalan hanya dilalui oleh mobil pribadi, angkutan umum seperti bus dan mikrolet, dan sepeda motor, tetapi berkat adanya Jembatan Suramadu, banyak kendaraan yang hilir mudik mengangkut barang-barang hasil pabrikan yang dikelola di Madura untuk diangkut ke berbagai daerah baik di dalam maupun luar negeri. Asumsi ketiga ini bisa terwujud manakala ada banyak investor dari dalam atau luar Madura, bahkan dari mancanegara yang mendirikan perusahaan di pulau ini dengan mengelola bahan-bahan mentah yang diperoleh baik dari Madura maupun bukan.
Beberapa asumsi di atas, tentunya, yang diharapkan terwujud adalah asumsi ketiga. Sebab, jika asumsi kedua apalagi yang pertama, maka nilai signifikansi Jembatan Suramadu kurang terasa bagi pengembangan pembangunan di pulau Madura.
Karena itu, diperlukan kesadaran dan sikap pro-aktif masyarakat Madura, khususnya para pejabat, pimpinan, dan tokoh masyarakat seperti para bupati (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk berpikir keras bagaimana menfungsikan Jembatan Suramadu untuk tujuan dimaksud. Langkah yang dapat ditempuh misalnya, mengundang investor dari luar Madura baik investor dalam maupun luar negeri, untuk mendirikan perusahaan di wilayah Madura, di samping mendorong investor dalam Madura sendiri agar melebarkan usaha-usahanya. Meskipun telah dibentuk Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) untuk mengawal percepatan pembangunan pulau Madura dan kawasan Jembatan Suramadu bersama lima kepala daerah (Kota Surabaya,Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) yang dalam menjalankan program pembangunan akan bersifat fleksibel, masyarakat Madura tidak boleh bersikap pasif sembari menunggu bola, tetapi sebaliknya bersikap aktif dengan menjemput bola. Sebab, bagaimanapun BPWS dan lima kepala daerah tersebut berusaha untuk membangun wilayah Madura, jika partisipasi aktif masyarakat tidak ada, maka percepatan pembangunan di wailayah ini akan mengalami hambatan.
Karena itu, cepat tidaknya pengembangan dan pembangunan Madura pasca Jembatan Suramadu sangat tergantung pada berbegai komponen masyarakat, khususnya para tokoh dan stakeholder yang ada di sana. TIME LINE DAN TOPIK PERKULIAHAN Mata Kuliah: Hadits I Jurusan/Prodi: Tarbiyah/PAI Bobot: 2 SKS Jenis Kompetensi: Utama Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu menerjemahkan, menghafal, memahami, menghayati, dan mengaktualisasikan kandungan hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Dosen Pengampu: Dr. Idri, M.Ag Ah.
HISTORY AND PROSPECT OF RELIGIOUS COURT IN INDONESIA By: DR. Abstract: Since the the emerging of Code No. 7, year 1989, religious court in terms of jurisdiction had the same grade with other courts in Indonesia. This equality was not only shown up immediately, but also it took a long time. In the early of Islam in Indonesia and the Islamic empire period, when there was no explicitly dichotomy between the Islamic court and the public court, the religious courts had wide power in the judiciary. When the Dutch and Japanese invaded Indonesia, the authority of religious court was more narrow in terms of jurisdiction or territory.
After Indonesian independence, the status and authority of religious court in terms of jurisdiction was not much changed until the implementation of those Code. Next time, the development of religious court depends on various factors both internal and external ones. This paper tries to explain the historical development of religious court in Indonesia since the early period of Islam in this country, the kingdom period, until now. The authority and jurisdiction of religious court which had been experienced ups and downs tried to be analyzed in terms of historical facts with its historical background. After experiencing changes and significant developments, especially after the religious court under the auspices of the Supreme Court and it is added the prosecuting authority in the case of Islamic economics, the future prospects of religious court becomes more clear and more, due to its equality with other courts, or in terms of authority and power in deciding cases. Keywords: religious court, developments, prospects, status, authority A. Introduction Religious court, as a part of the Islamic law institution in Indonesia, had experienced development since the coming of Islam for first time until today.
As a result of interaction between the necessity of Muslim community to a juridical-formal institution based on Islamic law, the religious court should enhance itself to get ready from time to time by improving and innovating to acquire progress and avoid obstacles. At the historical point of view, the religious court has been experienced ups and downs; starting since the beginning of Islam in Indonesia, the Islamic kingdoms, then the Dutch and Japanese colonization, as well as the independence period. Socio-political constellation thickly influenced every period of this institution. In the span of a long time, the institution which nowdays legally equals with the other courts, has many changes in authority, position, or its existence in general. The change was essentially due to differences in the policy holders from one period to another period.
Some barriers have been always coloring its journey especially since the colonial period until the time of independence. However, the independence of Indonesian Republic declaration does not necessarily makes the institution an established and independent institution. Newly fresh wind blowing and beating this institution with the emerging of Code No. 7, year 1989. The study of such institution has much significant values in order to trace back the historical data about it, and then to explain and to predict the future of religious courts in Indonesia based on the past data or the data at least provides basic information for the next policies. The Development of Religious Courts in Indonesia 1.
The Early and the Islamic Kingdom Period Since Islam came to the earth of archipelago, Islamic law had come into force. The existence of Islamic law had long been taking a place in public life.
Besides the pure religious rituals ( al-‘ibada al-mahda) in practical life, Islamic law implemented in the beginning period was the law of marriage ( fiqh al-munakaha). This law related to family problems early had been applied in the community because according to Islamic teaching, a Muslim can not marry a non-Muslim woman. Therefore, when a Muslim merchant would marry a local woman, he was firstly conducted and was proposed to take her into Islam, then the marriage ceremony was held in accordance with that religion. Along with the growing number of Muslim populations, Islamic law in a broader constellation was also extended to various human activities that were broader besides the influence of local traditions.
When there were disputes between them, the settlement done at least in three ways. Firstly, in the early days, when the Islamic kingdoms had not been established yet and Islamic societies had not so many, the disputes were solved by asking for a fatwa to someone they trusted in the scientific capacity of Islamic law.
At that time, there had been no formal power to implement the decisions of that fatwa. The only tie was the belief that both parties litigant, so that decision, even though the sanctions would not had done otherwise, keep running. Generally, the fatwa authority with respect to civil law, especially al-ahwal al-shakhsiya, such as marriage ( munakaha), gift ( hiba), inheritance ( waris), and so forth and not related to the implementation of criminal law such as hudud, qisas, and ta’zir.
In the early period, the procedures taken include two possibilities: 1 Done by submitting the cases of law which happen to a scholar and then he decided in accordance with the provision of Islamic law. 2 The second procedure is not the cases were brought to an ulama (Islamic scholar), but that scholar who informed and decided such cases even though the litigant parties do not submit them. This second possibility can happen because the Muslim community was still a few that time and the Islamic scholars mostly served themselves as preachers of Islamic law as well as Islamic teachings in general. Secondly, as the Muslim community grow more and more, but not yet realized the political power in the form of kingdom, a case which occurred was decided collectively by the traditional leaders which consists of the elders, ulama, community leaders, and/or ninik-mamak as arbitrator or qadi. Such court was already there at the time of Hindus, long before the Islamic period. However, the judges decided some cases in accordance with Islamic law and they were appointed based on consensus at the meeting of citizen according to local mores. Unlike the early period, this time the legal determination and decision were more compulsory because it was done through traditional institutions.
Thirdly, on further development, when the Islamic kingdoms had stood, the kings promoted people who were considered as competent to be judges or qadis to solve problems that occured in their regions. At the kingdom of Islamic empire period, Islamic law has been getting a decent position in society, even could become an official state law. In the kingdom of Mataram (Java), for example, kyai penghulu (Islamic leaders) were appointed by the king to take care of issues relating to religion ( hadatha al-din) including the decition of Islamic law, and public administration left to the pepatih dalem.
The king, kyai penghulu, and pepatih dalem, in the governmental system of Mataram were a single-tree in controlling and running the royal government. Nevertheless, the single-tree governance system that, if pulled on a modern system, can not be equated with the legislative, executive, and judiciary in the theory of Montesque ‘ Trias Politica’. In the kingdom of Mataram, the three powers were basically in the hands of the king (monarchy), while the kyai penghulu (headman) and the pepatih were served as the king assistants. Thus, the power of religion in the kingdom held by the penghulu.
When the kingdom of Demak in power, the position of penghulu was handed over to Sunan Kudus and Sunan Kalijaga. In the kingdom of Pajang it was known the names of Penghulu Kudusulngalam I to V, meanwhile in Surakarta there ware names Tapsir Anom I to VI. In the last kingdom mentioned, at least there are four tasks of penghulu, namely: 1 to lead worship as Friday prayers, congregational prayers, etc., 2 to decide the case of judicial duty porch such as divorce, inheritance, wills, husband-wife disputes, gana-gini (inherited wealth), and so forth, 3 to guide people in religious life, including religious education, and 4 to perform the duties of guardian judge (for women with no guardian) and to establish a covenant marriage. Religious courts at that time patterned compound. Pluralism was seen on several factors. Firstly, diversity was very dependent on the Islamization process conducted by religious officials and scholars in general and the forms of integration between the Islamic law with local norms that had been growing and developing before. Secondly, diversity of religious courts lied in the autonomy and development in enviromental kingdom or empire respectively.
Thirdly, plurality was seen in the hierarchy of courts, and the power of courts to do its job in relation with the power of government in general, and the source of law making in accepted and the proposed settlement. Those various factors were related to the elements of local tradition and the Islamization process which was still in early time, in addition to the judiciary’s position in the organizational structure of different kingdoms; in some kingdom received less attention and vice versa in the other kingdoms of excessive attention. When Sultan Agung of Mataram kingdom’s ruling (1613-1645), the leadership of the courts, eventhough principally in the hands of the sultan, moved to the penghulu (headman) was accompanied by several Muslim scholars from various Islamic schools as a member of the board.
When Amangkurat I succeeded Sultan Agung in 1645, the civil court emerging during the Hindu kingdom, was turned back to reduce the influence of ulama in the courts and the king himself who held the reins of leadership. It was thus, in subsequent periods, the court foyer as implemented at the time of Sultan Agung was still showing its existence to the Dutch colonization. The transition finally brought to court plurality at the time of Sultan Agung and Amangkurat I, it only did not seem to lie in the court order and its hierarchy, but also on institutions and law-making sources. Therefore, it can be said that the interaction between various factors had affects the way of the religious courts in the Islamic empire, although even in the case of Sultan Agung and Amangkurat I, the more prominent are authoritative factor in the courts. Seeing from the quantity, the religious court of each kingdoms also showed differences.
In Banten, there was only one religious court led by Qadi as a single judge. In contrast to the period of Sultan Agung of Mataram, where there were several judges besides penghulu judges, religious courts of Cirebon was carried out by seven ministers who represented by three sovereign; the Sultan Sepuh, Sultan Anom, and Panembahan of Cirebon. In this Cirebon royal court, all events that became the trial of the minister was decided according to Papakem book that had a lot of influences of Islamic law. Of the three courts, the court Banten was the simplest seen from the composition of judges in handling legal matters. Unlike the judicial system above, the religious courts in Aceh were conducted in stages.
The first level court was done by the village level, led by keucik. This court handled only mild cases, whilst severe cases decided by the Mukim Law Center.
When one of party litigants did not satisfy with the decision of the first level, then he or she might appeal to Uleebalangs (second-level courts). Further appeal might be submitted to the Panglima Sagi. If not satisfied, then he or she continued appeal to the Sultan done by the Supreme Court with members; Malikul Adil, The Rich Sri Master, the Rich King Bandhara, and Fakih ( Ulama).
In some places like South and East Kalimantan and other places, the religious judges were appointed by local authorities. In some regions such as North Sulawesi archipelago, South Sumatera no special status for religious courts. In these areas, religious leaders directly performed judicial duties automatically. The implementation of the religious courts in some regions were also quite varied viewed from the their hierarchy, authority, and delegation. In the early days of Islam in the archipelago and the period of Islamic empire, Islamic law had been fully applicable among Muslims. Van Den Breg in his theory known as the theory of Receptio in Complexu states that Islamic law has been fully accepted by Muslims since the Islamic empire until the beginning of the VOC, namely when the Dutch were not to interfere with all applicable legal problems in society.
Dutch and Japanese Colonial Period a. Dutch Colonial Period After having begun to increasingly strong in Indonesia in looting the wealth of the earth, the Dutch East India Company on May 25, 1760 AD issued a decree formally of Resolutio der Indischr Regeering known as Compendium Freijer. These rules were not only include the implementation of Islamic law in the field of kinship (marriage and inheritance), but also replaced the authority of the Islamic religious institutions which were formed by the Muslim kings or the sultans with courts which were made bythe Netherlands.
The existence of Islamic law in Indonesia then was fully recognized by the Dutch after the revocation of Compendium Freijer gradually, and finally with Staatstablaad No. 354 year 1913. With regard to the judicial institution, at the Dutch colonial period, the judiciary seen from the form and quantity was more diverse. ENHANCEMENT OF ISLAMIC HIGHER EDUCATION MANAGEMENT IN INDONESIA (A Brief Comparation with Melbourne University Management in Australia) By: DR. 196031001 Lecturer of State Islamic Higher Education (STAIN) Pemekasan Madura East Java Indonesia DEPARTMENT OF ISLAMIC RELIGIOUS AFFAIRS REPUBLIC OF INDONESIA 2009/2010 ENHANCEMENT OF ISLAMIC HIGHER EDUCATION MANAGEMENT IN INDONESIA (A Brief Comparation with Melbourne University Management in Australia) A.
Introduction New paradigm in higher education that includes accountability, quality, autonomy, self-evaluation and acreditation of higher education with regard to the required future conditions, requires the actualization of human excellence optimally. This is a problem faced by university graduates in Indonesia, including the graduates of Islamic Higher Education such as UIN (State Islamic University), IAIN (State Islamic Institute) and STAIN (State Islamic Higher Education). Yet, the appearance of higher education graduates who have “special advantages” as they work at scientific competence had become our challenge together. Education is not only to educate people to be ready for use in the labor market, but also more than that, to help students to become “the whole person”. This can be obtained through a good academic condition that can support the success of a university in carrying out its roles and functions well. Indonesia as a developing country, besides to improve deficiencies in the mastery of science and technology and the increasing number of qualified workers, it also tries to develop and at the same time to maintain the values of ‘academic and professional’ in it.
Therefore, higher education is challenged to be able to improve the quality of its graduates in order to ensure the maximum needs of the relevant through programs conducted in accordance with the needs of the community. In terms of costs, higher education costs needs much money, therefore the management must be efficient and effective. On this condition, then the university environment necessarily have to develop a dynamic management system with high accountability. The implementation of the principle of autonomy in higher education is a change from the pattern of centralized management (centralization) to the pattern with the centers of decision-making that is more dispersed (decentralization). With this system of Higher Education management, it is expected that it will run more dynamic, efficient and effective. Quantitatively, university graduates in the present decade are encouraging.
However, the rate of increase in university graduates does not match with the employment opportunities or the reluctance of graduates to work outside the Government sector, has created a special issue of the growing phenomenon “educated unemployment”. This graduate unemployment problem is not to be separated from the mushrooming number of private universities, especially private universities that emerged in these areas, as well as the quality of college graduates who are not in accordance with the qualifications needed for professionals and academics to the development in various fields including the fields of religious studies as managed by STAIN, UIN, and other Islamic States. To face of future challenges which are marked by public awareness of the role of universities in order to increase their relevant functions in development, the universities have to develop a new paradigm, namely, autonomy, quality, evaluation, accreditation, and accountability. Therefore, new paradigm has been responded by the Republic of Indonesia government by issuing a decree of minister, Number: 184/U/2001, on Guidelines for Monitoring, Control and Supervision of Diploma, Undergraduate, and Postgraduate Studies in Higher Education. This decree requires that it is better for university managers to meet and to do accountability to the community or the government. Today, higher education in Indonesia has been experiencing changes including the changing of paradigm, management, development, competition, and so on.
The shift of paradigm mainly triggered by the development of technology and information, so that e-learning, e-university, and the like began much discussed and sought. The changes concern with the management of higher education bodies, either run by the government and also by private sectors. The debate on the State-Owned Legal Entity, (BHMN), General Services Agency (BLU), even the Board of Legal Education (BHP) to add splendor nuances associated with the development of university management. Similarly, the changes of university status in the environment Islamic university (PTAI) as the changes from IAIN and STAIN to UIN also enliven the patterns and models of higher education development in this country. Islamic Higher education, as other higher education institutions, is a gathering of academic beings, or borrow a phrase from Andrew B. Barclay, a community of scholars, a community made up and will produce Islamic scholars. At this higher education environment, young people experience the process of learning to establish the ability and to do scientific reasoning as well as to develop objective and critical thinking.
The patterns of development and empowerment of the Islamic sciences involve three competencies to be achieved, namely: 1 the competence of human cognitive competent academically and having high scientific ethos, 2 the competence of psychomotoric in acoordance with the work of ethic and highly service ethic, and 3 the competence of affective which is manifested goodly by being academic and noble. Today, the role of higher education is expected to provide alternative solutions for solving many problems. Because the problems are so complex that can not be solved immediately, the investment of human resources can be used as reliable hope for the future.
In this case, educational institutions, including universities, have a strategic role to solve these problems during the next days. It is no exaggeration when the Constitution provides the mandate to consider the continuity and development of education by providing 20% allocation of national budget funds for education. Regulations related to education also determined to support it such as Act No. 20 of 2003 on National Education System, Government Regulation No. 60 of 1999 on Higher Education, Government Regulation No. 19 Year 2005 on National Education Standards, Act No.
14 of 2005 of Teachers and Lecturers, et cetera. For that reasons, Islamic higher education should strive to produce graduates who are competent, tough, and has the idealism to the competence, among others: (a) having national perspective, (b) having scientific insight, (c) having religious knowledge, (d) living and practicing the Islamic religion, (e) having the professional capacity, (f) having the ability to use foreign languages, especially Arabic and English, and (g) having additional capabilities that are worth more. The C oncept of Islamic Higher Education Management Management is etymologically derived from the English language that is originally an Italian word Manaj (iare), derived from the Latin mamis means hand. Management or m anaj (iare) means to lead, to guide, and to manage. The term management comes from the Latin manus means hand and manage means ruling, and controling a horse. In Italian maneggiare means to train a horse in footsteps following.
In the Indonesian language, the term is often translated as leadership, guidance, control, and taking care of. In English, the word management derived from the word to manage, which means a process for planning, organizing, directing, and controlling an organization and all instrumentalities for achieving organizational goals. Besides as science, management is also an art to run an organization in order to achieve its goals. Because it is so, then it not only contains scientific theory and paradigm but also includes skills on how to run and to organize a community, agency, or a particular institution. Until now, there has been no one expert who defines the word management wholely. Scientists still define management with varieties. One of many definitions of management which is quite interesting and is widely held is Henry Fayol’s definition that the management is a process of interpreting, coordinating resources, funding sources and others to achieve goals and objectives through the actions of planning, organizing, mobilization, monitoring, and assessment.
Based on the above definition, according to Fayol, there are at least fourteen principles of management, namely: 1 the distribution of tasks, 2 the authority and responsibility, 3 discipline, 4 the unity of command, 5 the unity of direction, 6 order, 7 justice, 8 initiatives, 9 the stability of tenure, 10 unity, 11 the levels of rank, 12 the replacement of employees, 13 the transfer of authority, and 14 the common preference from the personal interest. Of these fourteen principles by Henry Fayol then summarized into four principles which are called as functions of management, namely: 1 planning (setting goals, setting the rules, preparation of plans, etc.), 2 oganizing (formating parts, the division of tasks, classification of employees, and others), 3 actuating (performing task, producing, packaging products, selling products, and so on), and 4 controlling (seeing the implementation of the task, selecting the product, evaluating sales, etc.). Management can also be interpreted as a science systematically trying to understand why and how people work together to achieve goals and to create a system of cooperation that more benefit for humanity. As an art, it can be associated with skills which are eventually able to make a variety of knowledge that can become prosperous or welfare for human life. How does a doctor, for example, with his knowledge, can provide good service to the community, is indeed need also good management. Similarly, leaders of an institution, teachers, lecturers, judges, and so on will be carrying out their duties and functions if in doing them are governed and managed with good and true ways.
Because management is a systematic knowledge attempting to understand why and how people work together to achieve the goal, the knowledge of human nature in working and tendencies of their life should be known too. Ernest Dale and L.C. Abstrak: Dewasa ini term jihad oleh pihak tertentu digunakan untuk tujuan yang tidak semestinya.
Kalau pada masa Nabi dan masa Islam klasik, jihad dimaksudkan pada upaya untuk menegakkan dan memperjuangkan Islam baik dengan harta, jiwa, raga, pikiran, dan amal perbuatan, saat ini pihak tertentu memahami dan mengaplikasikan term jihad dalam bentuk teror. Orang memahami jihad semata-mata sebagai ‘perang suci ( the holy war)’ melawan orang-orang kafir dengan balasan surga bagi yang mati syahid karenanya. Dengan mengatasnamakan jihad, pada dasawarsa ini terjadi banyak pengeboman baik di Indonesia di belahan dunia lain. Aksi teror bom tidak hanya terjadi di negara-negara non-Islam tetapi juga di negara-negara Islam yang juga memakan korban umat Muslim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah tindakan mereka itu merupakan jihad sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan konsep jihad dalam perspektif dua ulama yang hidup pada zaman kontemporer; Sayyid Sabiq dan Abu Bakar Jabir al-Jazayri dengan menelaah pengertian konsep jihad, dasar hukum dan implementasi jihad, syarat-syarat jihad, kategori-kategori jihad, serta orientasi pemahaman jihad dalam konteks kehidupan modern.
Melalui kajian ini diharapkan dapat diklarifikasi dan sekaligus dicarikan solusi tentang formulasi jihad dalam konteks kehidupan modern. Abstrak: Dewasa ini term jihad oleh pihak tertentu digunakan untuk tujuan yang tidak semestinya. Kalau pada masa Nabi dan masa Islam klasik, jihad dimaksudkan pada upaya untuk menegakkan dan memperjuangkan Islam baik dengan harta, jiwa, raga, pikiran, dan amal perbuatan, saat ini pihak tertentu memahami dan mengaplikasikan term jihad dalam bentuk teror.
Orang memahami jihad semata-mata sebagai ‘perang suci (the holy war)’ melawan orang-orang kafir dengan balasan surga bagi yang mati syahid karenanya. Dengan mengatasnamakan jihad, pada dasawarsa ini terjadi banyak pengeboman baik di Indonesia di belahan dunia lain. Aksi teror bom tidak hanya terjadi di negara-negara non-Islam tetapi juga di negara-negara Islam yang juga memakan korban umat Muslim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah tindakan mereka itu merupakan jihad sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan konsep jihad dalam perspektif dua ulama yang hidup pada zaman kontemporer; Sayyid Sabiq dan Abu Bakar Jabir al-Jazayri dengan menelaah pengertian konsep jihad, dasar hukum dan implementasi jihad, syarat-syarat jihad, kategori-kategori jihad, serta orientasi pemahaman jihad dalam konteks kehidupan modern. Melalui kajian ini diharapkan dapat diklarifikasi dan sekaligus dicarikan solusi tentang formulasi jihad dalam konteks kehidupan modern. Latarbelakang Masalah Paradigma baru dalam pendidikan tinggi yang mencakup akuntabilitas, kualitas, otonomi, evaluasi diri dan akreditrasi pendidikan tinggi yang berkenaan dengan kondisi yang dipersyaratkan masa depan, menuntut aktualisasi keunggulan manusia secara optimal.
Hal ini merupakan persoalan yang dihadapi lulusan Perguruan Tinggi. Belum tampilnya lulusan pendidikan tinggi yang memiliki “keunggulan khusus” sesuai kompetensi keilmuan yang digeluti menjadi tantangan bersama. Pendidikan tidak hanya sekedar mendidik manusia menjadi tenaga siap pakai di pasar kerja, melainkan lebih daripada itu, membantu peserta didik untuk menjadi “manusia seutuhnya atau insan kamil”.
Hal ini dapat diperoleh melalui kondisi akademik yang kondusif yang dapat menunjang keberhasilan suatu Perguruan Tinggi dalam menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Indonesia sebagai suatu negara yang baru berkembang, di samping harus berusaha keras untuk memperbaiki kekurangannya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan jumlah tenaga kerja yang handal juga harus berusaha mengembangkan dan sekaligus mempertahankan nilai-nilai ‘akademik dan profesional’ di dalamnya.
Untuk itu, pendidikan tinggi ditantang untuk mampu meningkatkan mutu lulusannya agar dapat menjamin secara maksimal kebutuhan-kebutuhan yang relevan melalui program-program yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dilihat dari segi biaya, pendidikan tinggi membutuhkan biaya yang cukup besar, karenanya manajemen pengelolaannya harus efisien dan efektif. Atas dasar ini, maka di lingkungan perguruan tinggi perlu dikembangkan sistem manajemen yang dinamis disertai akuntabilitas yang tinggi. Penerapan asas otonomi dalam Pendidikan Tinggi merupakan perubahan dari pola manajemen terpusat (sentralisasi) ke arah pola dengan pusat-pusat pengambilan keputusan yang lebih tersebar (desentralisasi). Dengan sistem ini diharapkan manajemen Perguruan Tinggi akan berjalan lebih dinamis, efisien dan efektif. Secara kuantitatif, lulusan Perguruan Tinggi dalam dekade sekarang ini cukup menggembirakan. Hanya saja, laju peningkatan lulusan Perguruan Tinggi yang tidak diimbangi dengan kesempatan kerja atau keengganan bekerja dari para lulusan di luar sektor Pemerintahan, telah menimbulkan suatu permasalahan tersendiri berupa semakin membesarnya gejala “ educated unemployment”.
Masalah pengangguran sarjana ini di samping tidak terlepas dari menjamurnya jumlah PTS, khususnya PTS yang muncul di daerah-daerah, juga karena mutu lulusan perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan kualifikasi kebutuhan akan tenaga profesional dan akademis untuk pembangunan di berbagai bidang termasuk pula bidang-bidang keagamaan sebagaimana dikelola STAIN, UIN, dan IAIN. Dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang ditandai dengan kepedulian masyarakat terhadap peran perguruan tinggi agar dapat meningkatkan fungsinya secara relevan dalam pembangunan, maka perguruan tinggi menyusun paradigma baru, yakni, otonomi, kualitas, evaluasi, akreditasi dan akuntabilitas. Paradigma baru tersebut direspon oleh pemerintah dengan mengeluarkan SK Mendiknas, Nomor: 184/u/2001, tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana di Perguruan Tinggi. SK ini menuntut agar pengelola Perguruan Tinggi memenuhi akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dewasa ini pendidikan tinggi di Indonesia mengalami perubahan panorama yang meliputi perubahan paradigma, pengelolaan, pengembangan, persaingan, dan sebagainya.
Perubahan paradigma terutama dipicu oleh perkembangan teknologi dan informasi, sehingga e-learning, e-university, dan sejenisnya mulai banyak dibicarakan dan diusahakan. Perubahan pengelolaan menyangkut badan penyelenggara pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Perdebatan mengenai Badan Hukum Milik Negara, (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU), bahkan Badan Hukum Pendidikan (BHP) menambah semaraknya nuansa yang terkait dengan perkembangan pengelolaan perguruan tinggi.
Demikian pula, perubahan status perguruan tinggi di lingkungan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) seperti perubahan dari IAIN dan STAIN menjadi UIN juga menyemarakkan pola dan model-model pengembangan perguruan tinggi di negeri ini. STAIN Pamekasan, sebagaimana lembaga pendidikan tinggi lain, merupakan berkumpulnya insan akademis, atau meminjam istilah Andrew B. Barclay, a community of scholars, suatu komunitas yang terdiri atas dan akan mencetak sarjana Islam. Di lingkungan sekolah tinggi ini, generasi muda mengalami proses belajar untuk membentuk kemampuan dalam melakukan penalaran secara ilmiah dan mengembangkan cara berpikir kritis dan objektif. Pembentukan dan peningkatan kemampuan yang hendak dicapai diperoleh melalui suatu aktifitas pendidikan/pengajaran ( educational activity), penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Sebagai satuan struktural yang berada di bawah naungan Departemen Agama, STAIN Pamekasan bertugas mengkoordinasikan dan/atau melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam suatu perangkat cabang ilmu pengetahuan agama Islam, teknologi dan seni yang berlandaskan ajaran Islam yang berkenaan dengan pendidikan (tarbiyah) dan hukum Islam (syariah) – karena saat ini baru terdapat dua jurusan dengan dua bidang keilmuan tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan tinggi ini didasarkan pada kebudayaan kebangsaan Indonesia dan secara ilmiah memberikan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan agama Islam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya pada dua bidang di atas. Jika mengacu pada tujuan kebijakan pengembangan STAIN Pamekasan yang dimaksudkan untuk ‘ mencetak sarjana muslim yang profesional dan berakhlak karimah’, maka berbagai upaya perlu dilakukan dengan mengacu pada visi dan misi STAIN Pamekasan, yaitu: 1 Visi: Membangun dan memberdayakan ilmu-ilmu agama Islam dengan mengintegrasikan dan menginternalisasikan ketangguhan karakter moral, kesalehan nurani/spiritual dan ketajaman nalar emosional untuk mewujudkan masyarakat madani. 2 Misi: Menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi (yang islami dan berkualitas) guna mewujudkan insan akademis yang cakap dan saleh, berakhlak mulia, dengan menumbuhkembangkan etos ilmu, etos kerja, dan etos pengabdian yang tinggi, serta berpartisipasi aktif dalam memberdayakan segenap potensi masyarakat. Sebagai starting point yang dirumuskan dengan ringkas dan tegas, visi merupakan pijakan dan arah ke mana sebuah institusi akan dibawa dan dikembangkan.
Dalam hal ini, STAIN Pamekasan berupaya membangun dan memberdayakan ilmu-ilmu agama Islam dengan melakukan pengembangan (developmentasi) melalui pengkajian dan penelitian serta pemberdayaan ( empowering) melalui pelaksanaan nilai-nilai Islam di kalangan masyarakat. Ketangguhan karakter moral, kesalehan spiritual, dan ketajaman nalar menjadi tiga point konsideran dalam pewujudan pembangunan dan pemberdayaan ilmu-ilmu agama Islam di STAIN Pamekasan. Dengan demikian, kerangka dasar kebijakan pengembangan STAIN ini harus memperhatikan kecerdasan intelektual ( Intelectual Quotion/IQ), kecerdasan spiritual ( Spiritual Quotion/SQ), dan kecerdasan emosional ( Emotional Quotion/EQ). Pola pembangunan dan pengembangan serta pemberdayaan ilmu-ilmu keislaman tersebut, sebagaimana tersirat dalam misi STAIN Pamekasan di atas, melibatkan tiga kompetensi yang hendak dicapai, yaitu: 1 kompetensi kognitif berupa insan akademis yang cakap dan mempunyai etos ilmu yang tinggi, 2 kompetensi psikomotorik berupa etos kerja dan etos pengabdian yang tinggi, serta 3 kompetensi afektif yaitu mewujudkan insan akademis yang saleh dan berakhlak mulia. Berangkat dari visi dan misi di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di STAIN Pamekasan adalah sebagai berikut: 1 Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang bertakwa (berakhlak mulia) serta dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan keilslaman, teknologi dan seni yang berlandaskan ajaran Islam. 2 Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan keislaman, teknologi dan seni yang berlandaskan Islam dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Tujuan STAIN Pamekasan di atas sejalan dengan Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000 pasal I ayat 1, yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyaipkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Sedangkan perguruan tinggi, menurut pasal 1 ayat 2, adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
Dilihat dari segi kemungkinan pencapaiannya di Sekolah Tinggi tersebut yang mengelola program pendidikan Strata Satu (S-1), tujuan di atas dapat diklasifikasi menjadi dua: Pertama, tujuan yang relatif mudah dicapai yaitu: 1 Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang bertakwa (berakhlak mulia) serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan keilslaman, teknologi dan seni yang berlandaskan ajaran Islam. Penerapan ilmu keislaman, teknologi, dan seni yang berlandaskan ajaran Islam tidak begitu sulit dilakukan oleh mahasiswa ataupun alumni STAIN Pamekasan mengingat di kampus ini di samping diajarkan beragam ilmu-ilmu keislaman sebagaimana terlihat dalam kurikulum dan silabi yang digunakannya, juga terdapat kegiatan-kegiatan baik yang bersifat intra maupun ekstra kurikuler yang terkait dengan teknologi, dan seni yang berlandaskan ajaran Islam. 2 Menyebarluaskan ilmu pengetahuan keislaman, teknologi dan seni yang berlandaskan Islam dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Kedua, tujuan yang relatif sulit dicapai yaitu menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang bertakwa (berakhlak mulia) serta mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan keilslaman, teknologi dan seni yang berlandaskan ajaran Islam.
Kemampuan untuk mengembangkan apalagi menciptakan ilmu pengetahuan biasanya dilakukan pada jenjang pendidikan Strata Dua (S-2) untuk pengembangan ilmu pengetahuan (developmentasi) dan pendidikan Strata Tiga (S-3) untuk menciptaan ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tujuan STAIN Pamekasan di atas melampaui visi dan misinya karena keduanya lebih bersifat naratif dan aplikatif sementara tujuan sudah mengarah pada pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan yang umumnya menjadi wilayah ‘kaplingan’ pascasarjana ( postgraduate). Karena itu, tujuan tersebut perlu direvisi sesuai dengan ranah dan kompetensi yang akan dicapai oleh lembaga pendidikan S-1 sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Mendiknas No.